Jumat, 21 Desember 2007

Antara korban dengan kurban

Oleh : Abdul Hamid
Seorang sarjana, ilmuwan, Amerika Serikat yang mendapat hadiah Nobel tahun 1948, Prof.Dr.Alexis Carrel, pernah mengatakan bahwa kemajuan ilmu/teknologi mendorong manusia kepada kebiadaban. Apa yang dikatakan Pak Prof. ini, jika kita amati dalam kehidupan nyata, memang ada benarnya, meskipun- tentu saja- tak selalu benar. Bukankah kebiadaban sebagian manusia bukanlah suatu hal yang baru, hanya teknik kejahatannya saja yang berkembang seiring dengan perkembangan ilmu / teknologi? Selanjutnya, seorang penyair Barat terbesar dalam abad modern ini, TS Eliot, pernah bersyair yang berbunyi : “Semua ilmu pengetahuan kita membawa kita makin dekat kepada kebodohan. Semua kebodohan kita membawa kita makin dekat kepada kematian. Tapi makin dekat kepada kematian. Bukan makin dekat kepada Tuhan”. Setujukah Anda dengan apa yang dikatakan oleh Penyair, Tuan Eliot, ini? Yang jelas ilmu / teknologi memang dapat memperpendek sekaligus memperpanjang usia harapan hidup manusia. Mereka yang tinggi ilmunya, dan “sujud” di hadapan Tuhannya, akan merasakan bahwa semakin tinggi penguasaan ilmunya dan semakin banyak hal yang diketahuinya, dia merasakan dirinya semakin bodoh. Kenapa demikian? Karena ilmu yang tidak dikuasainya ternyata jauh, jauh lebih banyak daripada yang dia kuasai. Namun sayangnya, sebagian mereka yang berpendidikan tinggi di tanah air ini khususnya, di dunia umumnya, merasa diri serba wah, serba bisa, sehingga mereka menjadi angkuh, menyombongkan diri dengan ilmu, dengan gelar mereka. Menurut cerita, ada pejabat yang tidak akan mau menandatangani surat atas nama beliau jika gelarnya tidak diketik semuanya, dan jika salah sedikit saja dalam pengetikannya. Mungkin bagi pak pejabat itu, gelar adalah segala-galanya. Anda ingin dengan mudah memperoleh gelar pendidikan sarjana, pasca sarjana (master, doktor), bahkan gelar profesor, tanpa kuliah dan tanpa melakukan riset sama sekali? Mau gelar bete’pe’ di depan dan di belakang nama Anda? Gampang tuh. Ada lembaga yang menawarkannya dengan imbalan rupiah tertentu. Kemajuan ilmu / teknologi memang telah membuat sebagian manusia lupa dengan Tuhan mereka, bahkan ada yang menganggap tidak ada Tuhan, tak ada kehidupan setelah mati. Oleh karena itu mereka menjadikan manusia lainnya sebagai korban bisnis demi menumpuk harta kekayaan guna memperoleh kebahagiaan di dunia yang tak lama itu. Sekian banyak anak manusia di planet bumi ini, telah menjadi korban kebiadaban oknum pengusaha, pejabat, aparat yang haus rupiah / dollar, angkuh, rakus, sombong, iri, dan dendam. Sekian banyak bahan tambang, hewan, dan tumbuhan telah menjadi korban mereka yang cinta dunia, rakus harta, dan tahta itu. Dia ngomong anti poligami, tapi istri simpanannya dapat lebih dari satu. Sebagian anak manusia yang mempunyai kesempatan, kini tidak hanya makan nasi atau pangan utama lainnya dengan lauk pauk yang lezat, tetapi juga telah menjadi “pemakan” lahap emas, tanah, hutan, batu, besi, semen, pasir, sehingga perut dan hati merekapun menjadi keras, entah sekeras kayu, entah sekeras batu, entah sekeras besi. Bisnis tipu-tipu, fiktif, pun berkembang dengan sekian banyak korban. Sangat disayangkan, mereka yang seharusnya menjaga, mengamankan barang-barang tersebut, seakan mata mereka dibutakan dari melihat benda-benda ukuran besar tersebut. Jika barang sebesar batang pohon saja tak terlihat oleh mata petugas, apalagi benda-benda yang berukur relatif kecil dan kecil. Mungkin mereka juga ikut menikmati “santapan lezat” itu. Akibatnya? Trilyunan Rupiah uang negara terbang kemana-mana, ke Sinagpura, Australia, Amerika, dan RRC. Kini korupsi kian kentara, tanpa merasa takut dengan KPK. Planet bumi pun menjadi rusak, iklim berubah (climate change), dan perlu di konferensikan secara bersama di Bali beberapa hari yang lalu, setelah kerusakan kian nyata membuat sengsara. Namun mungkinkah iklim akan kembali bersahabat jika manusia yang tinggal di atas kerak bumi ini tidak mempunyai komitmen yang sama? Coba tanyakan kepada rumput yang bergoyang. “Telah terjadi kerusakan di darat dan di laut karena ulah manusia”, demikian yang Mahapenguasa, Mahaperkasa, mengingatkan manusia belasan abad yang lalu. Jadi, pada dasarnya bencana yang menerjang negeri ini khususnya, dunia umumnya, adalah disebabkan ulah sejumlah penduduknya, terutama oknum penguasa, pengusaha, birokrat, wakil rakyat, dan aparat. Seorang ulama, Z.A. Syuib, mengatakan bahwa manusia telah lupa kepada nafsu insaniah, yang masih tinggal padanya nafsu bahimiyah (kebinatangan) dan sabu’iyahnya (kebuasan) saja. Dalam kenyataan hidup manusia sejak dulu, apalagi kini dan akan datang, sebagian manusia telah meninggalkan jauh nilai-nilai kemanusiaan demi harta/materi, tahta, dan juga demi wanita(bagi pria). Kebuasan mereka memang telah menyebabkan orang lain menjadi korban, yang jumlahnya kian bertambah dari waktu ke waktu itu. Agar nilai-nilai kemanusiaan tersebut dikembalikan pada tempat yang sebenarnya, maka manusia yang mempunyai kemampuan dianjurkan untuk berkurban. Dengan berkurban, manusia diingatkan untuk menyembelih nafsu jahat, nafsu perusak yang ada di dalam diri masing-masing. Dengan berkurban, Anda diingatkan untuk tidak menjadikan orang lain sebagai korban demi suatu kepentingan duniawi : harta / materi, kekuasaan, dan demi simpanan. Belum punya uang yang cukup untuk berkurban? Sementara kurbankan dululah waktu, perasaan dengan ikhlas, untuk kebaikan diri dan orang lain, tapi jangan menjadi korban waktu dan perasaan. Seseorang tidak mungkin dihormati oleh orang lain, masyarakat, bila dia tidak mau mengorbankan tenaga, pikiran dan waktu untuk melayani orang tersebut / masyarakat. Namun, tak perlu malu untuk belum berkurban jika memang belum mampu, daripada berkurban tapi mengorbankan uang negara atau uang kantor. SELAMAT IDUL ADHA 1428 H. MAAF LAHIR DAN BATIN. **

Penulis adalah Dosen Fakultas Teknik Untan




Tidak ada komentar: